"Bu aku harus ke jogja" Kataku mengawali pembicaraan.
"Ngapain?" Kata ibu sedikit kaget
"Aku pengen ngejar cita citaku bu disana." "Jogja kota impianku" Ku jelaskan ibu tentang impianku dan obsesiku dengan kota jogja, jujur saja sudah lama ku ingin pergi dari rumah dan merantau kesana.
.....
"Terserah kamu le, ibu ngga bisa apa-apa kalau kamu ngeyel gini" Kata ibu pasrah. Sebenarnya perkataan ini bukan jawaban yang aku tunggu untuk keseriusanku, tapi tak apa lah semoga ini juga termasuk restu ibu.
Aku pun berhasil, berada dikota yang menjadi impianku. Disana dengan mudah aku bisa kemanapun tanpa harus meminta izin dari ibu, kegembiraan ini tak bisa diungkapkan dengan kata atau perbuatan. "Aku ingin menakhlukan kota ini" Bilangku dalam hati. Merasa aku harus mandiri, dengan modal awal 50 ribu yang kupinjam dari hasil penjualan online kakaku aku harus irit, seirit iritnya disini. Tapi naas cuma 3 hari aku bisa bertahan hidup disana, ternyata perhitnganku salah total. Jogja yang kukira akan sama dengan solo ternyata saling bertolak belakang. Harga disana sungguh tak relevan, disolo 10 ribu bisa kenyang disana paling tidak 15 ribu aku bisa merasakan kekenyangan yang sama dari solo. Salah kaprahnya lagi ternyata aku dibohongi oleh orang cina! Sebelum kesini, sudah beberapa kali kuamati benar-benar kontrak kerja, disana tercantum bahwa restoran memberi makan pegawainya, tapi nyatanya setelah disana kontrak kerja itu berubah. Dasar cina.
Mati lah aku, kerja di restoran tapi tak mendapatkan makan hanya minum saja.
Setelah setengah bulan menghadapi segala perkara disana, aku memutuskan untuk pulang dan resign dengan cara tidak baik. Kerja disana sama saja dengan kerja rodi di masa penjajahan wong londo, setiap hari badan rasanya ingin copot, sangat melelahkan. Kutambahkan kata digaris bawahi itu dengan arti memang berlebihan. Gaji setengah bulan yang kudapat disana tak mungkin bisa untukku menjalani hidup sebulan disana, Jogja yang kudambakan menjadi jogja dengan segala keindahannya, hari itu jogja tidak indah sama sekali.
Aku belajar banyak dari kejadian setengah bulan disana, walaupun saat pulang ke solo aku harus menerima cacian dari sekeliling aku tak apa, aku tak peduli. Mereka cuma melihat aku dari covernya atau mungkin dari judul. Mereka tak pernah tau bagaimana realita aku hidup disana, ngga tahu aku dipekerjakan selayaknya anjing penjaga, belum lagi salah satu senior kalau ngomong tak ubahnya dengan TPU, kata kasar dan kotor yang keluar darinya menjadi salah satu faktor aku memilih kabur.
Passion is bullshit, keberanianku untuk datang ke jogja tak seubahnya dengan sebuah rencana bunuh diri. Itu semua terjadi karena iming-iming qoute tentang passion. Bukan berarti juga aku menyalahkan qoute tersebut, karena sejujurnya aku ini orangnya sok tau'an. Inilah realita menjadi pribadi pendiam, aku memilih diam dan tak meneliti fakta yang terjadi didepan mataku. Aku hanya lebih memilih untuk beropini dengan alasan yang kubuat-buat agar akunya puas, berani yang kulakukan disana, waktu itu adalah berani tanpa tanggung jawab. Memang niatku baik, tapi dari artikelku sebelumnya aku sudah bilang : untuk apa niat baik tanpa perbuatan baik pula, Right?
Dalam pandanganku tentang passion ialah sebuah kata tak relevan jika idealisme diutamakan tanpa adanya realitas yang ada. Yang artinya aku tak mempercayai arti passion itu sebenarnya. Aku hanya memilih impian menjadi tujuanku, dan gaya hidup menjadi style ku. Tidak untuk passion. Dan terserah apa itu passion.
Rasa sakit dari jogja kemaren tak seubahnya menjadi pembelajaran bagiku, aku bisa dengan mudah mengutuk orang cina, atau menyimpulkan bahwa aku tak ingin lagi kejogja. Tapi aku tak sebodoh itu, biarlah orang cina menjadi cina dan jogja menjadi kota impianku. Sekarang aku harus berani, tapi dengan berani dengan tanggung jawab.
Udah ya, akunya harus kerja. Salam!
"Ngapain?" Kata ibu sedikit kaget
"Aku pengen ngejar cita citaku bu disana." "Jogja kota impianku" Ku jelaskan ibu tentang impianku dan obsesiku dengan kota jogja, jujur saja sudah lama ku ingin pergi dari rumah dan merantau kesana.
.....
"Terserah kamu le, ibu ngga bisa apa-apa kalau kamu ngeyel gini" Kata ibu pasrah. Sebenarnya perkataan ini bukan jawaban yang aku tunggu untuk keseriusanku, tapi tak apa lah semoga ini juga termasuk restu ibu.
Aku pun berhasil, berada dikota yang menjadi impianku. Disana dengan mudah aku bisa kemanapun tanpa harus meminta izin dari ibu, kegembiraan ini tak bisa diungkapkan dengan kata atau perbuatan. "Aku ingin menakhlukan kota ini" Bilangku dalam hati. Merasa aku harus mandiri, dengan modal awal 50 ribu yang kupinjam dari hasil penjualan online kakaku aku harus irit, seirit iritnya disini. Tapi naas cuma 3 hari aku bisa bertahan hidup disana, ternyata perhitnganku salah total. Jogja yang kukira akan sama dengan solo ternyata saling bertolak belakang. Harga disana sungguh tak relevan, disolo 10 ribu bisa kenyang disana paling tidak 15 ribu aku bisa merasakan kekenyangan yang sama dari solo. Salah kaprahnya lagi ternyata aku dibohongi oleh orang cina! Sebelum kesini, sudah beberapa kali kuamati benar-benar kontrak kerja, disana tercantum bahwa restoran memberi makan pegawainya, tapi nyatanya setelah disana kontrak kerja itu berubah. Dasar cina.
Mati lah aku, kerja di restoran tapi tak mendapatkan makan hanya minum saja.
Setelah setengah bulan menghadapi segala perkara disana, aku memutuskan untuk pulang dan resign dengan cara tidak baik. Kerja disana sama saja dengan kerja rodi di masa penjajahan wong londo, setiap hari badan rasanya ingin copot, sangat melelahkan. Kutambahkan kata digaris bawahi itu dengan arti memang berlebihan. Gaji setengah bulan yang kudapat disana tak mungkin bisa untukku menjalani hidup sebulan disana, Jogja yang kudambakan menjadi jogja dengan segala keindahannya, hari itu jogja tidak indah sama sekali.
Aku belajar banyak dari kejadian setengah bulan disana, walaupun saat pulang ke solo aku harus menerima cacian dari sekeliling aku tak apa, aku tak peduli. Mereka cuma melihat aku dari covernya atau mungkin dari judul. Mereka tak pernah tau bagaimana realita aku hidup disana, ngga tahu aku dipekerjakan selayaknya anjing penjaga, belum lagi salah satu senior kalau ngomong tak ubahnya dengan TPU, kata kasar dan kotor yang keluar darinya menjadi salah satu faktor aku memilih kabur.
Passion is bullshit, keberanianku untuk datang ke jogja tak seubahnya dengan sebuah rencana bunuh diri. Itu semua terjadi karena iming-iming qoute tentang passion. Bukan berarti juga aku menyalahkan qoute tersebut, karena sejujurnya aku ini orangnya sok tau'an. Inilah realita menjadi pribadi pendiam, aku memilih diam dan tak meneliti fakta yang terjadi didepan mataku. Aku hanya lebih memilih untuk beropini dengan alasan yang kubuat-buat agar akunya puas, berani yang kulakukan disana, waktu itu adalah berani tanpa tanggung jawab. Memang niatku baik, tapi dari artikelku sebelumnya aku sudah bilang : untuk apa niat baik tanpa perbuatan baik pula, Right?
Dalam pandanganku tentang passion ialah sebuah kata tak relevan jika idealisme diutamakan tanpa adanya realitas yang ada. Yang artinya aku tak mempercayai arti passion itu sebenarnya. Aku hanya memilih impian menjadi tujuanku, dan gaya hidup menjadi style ku. Tidak untuk passion. Dan terserah apa itu passion.
Rasa sakit dari jogja kemaren tak seubahnya menjadi pembelajaran bagiku, aku bisa dengan mudah mengutuk orang cina, atau menyimpulkan bahwa aku tak ingin lagi kejogja. Tapi aku tak sebodoh itu, biarlah orang cina menjadi cina dan jogja menjadi kota impianku. Sekarang aku harus berani, tapi dengan berani dengan tanggung jawab.
Udah ya, akunya harus kerja. Salam!
Komentar
Posting Komentar